Pelita di Senja Hari
Oleh: Sugiarti Rahayu
"Gue gak cinta sama lo," jeda sejenak. "Gue gak pernah cinta sama lo, selama ini lo cuma jadi bahan taruhan gue. Gue kira lo beda, ternyata lo gak jauh beda ya sama cewek murahan di luaran sana."
Usai mengucapkan kalimat itu, ia menendang tongkat yang sedari tadi wanita itu genggam. Membuat tubuh orang itu limbung lalu jatuh dengan posisi menelungkup. Wah, perpaduan yang sangat cocok bukan untuk menjadi bahan tertawaan orang-orang?
"Lo bego, Pelita! Bego!"
Tawa sumbang terdengar setelahnya. Ia melihat wanita itu mendongak dengan senyum getir yang menghias wajah mungilnya, membuat orang-orang yang sedari tadi memperhatikan keduanya menatap dengan tak percaya. Ya ampun? Masihkah ada wanita seperti Pelita lagi? Yang masih dapat tersenyum setelah mendapatkan perlakuan seperti itu?
"Rio," panggil Pelita dengan lengan yang meraba-raba sekitarnya. "Rio masih ada di depan Pelita-kan? Kalau ada Pelita mau Rio dengerin ucapan Pelita kalau Pelita itu sangat sayang sama Rio, Pelita enggak peduli apa yang Rio ucapin barusan. Sekarang kita anggap semua baik-baik aja ya? Rio pasti lelah. Ayo, mari kita pulang, Rio!"
Lelaki itu diam tak bergeming dengan sorot mata memandang wanita itu dengan nanar. Sungguh saat ini ia sangat ingin merengkuh tubuh lemah gadis itu ke dalam dekapan lalu mengecup puncak kepala gadis itu berkali-kali sambil melafalkan ribuan kata maaf.
Rio hendak berjalan mendekati wanita itu. Namun, pergerakannya seketika terhenti saat sebuah bogeman mendarat pada rahang tegap lelaki itu. Rio terhuyung ke belakang tak siap dengan apa yang ia terima.
"Lo pantes dapetin itu! Gue pernah bilang, kalau lo nyakitin Pelita gue enggak akan tinggal diem. Sekarang keputusan lo udah tepat melepaskan Pelita, dan gue janji gue nggak akan pernah izinin lo buat nyentuh Pelita lagi!" tukas lelaki itu tajam. Ia berjongkok di hadapan Pelita yang kini tengah duduk dengan tatapan kosong, perlahan ia menggerakan lengannya menarik Pelita ke dalam dekapan. "Ayo Pelita, kita pulang." bisiknya tepat di samping telinga Pelita.
Usai kepergian dua orang itu, Rio berjongkok dengan tubuh yang bersandar pada tembok. Ia tersenyum dengan lirih, "Pelita lo harus tetap bersinar walau tanpa gue. Lo harus tetep bahagia meski itu tanpa gue. Gue sayang sama lo!"
***
"Pelita?"
Pelita menoleh, namun sayang ia salah melihat arah. "Kenapa Dewa?"
Dewa terkekeh melihatnya, ia menggerakan lengannya lalu memposisikan kepala Pelita agar menatap ke arahnya. "Kamu baik-baik aja kan?"
"Iya, Pelita baik-baik aja kok. Dewa jangan khawatir!"
"Lo yakin masih mau tinggal di rumah ini?"
Pelita mengangguk dengan mantap, "Pelita masih mau tinggal di sini. Pelita mau nunggu Rio pulang," mata Pelita menatap ke segala arah dengan tatapan kosong. Mata indah yang selalu membuat Rio hanyut ke dalam tatapan kosongnya, jatuh pada pesonanya.
"Apa sebegitu cintanya lo sama dia Pelita? Lo tetap bertahan setelah dia perlakuin lo kayak tadi Pelita. Apa yang lo liat dari dia sih? Gue cinta sama lo Pelita, seharusnya lo sadar itu."
Pelita menggelengkan kepala dengan cepat, "apa Dewa lupa kalau Pelita buta? Pelita enggak bisa ngeliat wujud Rio juga Dewa seperti apa. Tapi Pelita tahu, tadi itu Rio cuma kepaksa buat lakuin itu. Pelita tahu Rio enggak niat kayak gitu."
Lelaki itu menatap Pelita dengan tak percaya. Apa-apaan wanita ini? Kenapa pikirannya seakan sudah tertutup rapat untuk mengerti apa yang terjadi? Helaan nafas lelah terdengar dari mulut lelaki itu. Ia mengangguk dengan pasrah, "gue harap lo bahagia Pelita. Bahagia dengan pilihan lo, gue tau mungkin ini saatnya gue nyerah buat dapetin lo."
Pelita merunduk dengan rasa bersalah yang hinggap dalam benaknya. Sungguh, Pelita tak bermaksud untuk mengecewakan Dewa juga Pelita tak berniat untuk menyakiti hati lelaki itu.
Dewa berjalan mendekat ke arah Pelita, lalu ia mengacak pelan rambut Pelita dengan sayang. "Jangan ngerasa bersalah gitu, aku enggak apa-apa kok Pelita. Jangan sedih, karena sebisa mungkin aku akan buat kamu tersenyum. Aku pamit dulu ya, kamu gak boleh ngapa-ngapain ya diem aja di kamar. Dewa sayang Pelita," ia menuntun Pelita agar berbaring di tempat tidurnya.
Usai kepergian Dewa, Pelita kembali duduk menegakan badannya. Otaknya berpikir keras tentang apa yang telah terjadi padanya hari ini. Mulai dari Rio yang mengaku tidak pernah mencintainya, Rio yang menendang tongkatnya, juga Dewa yang mengaku mencintainya. Pelita pusing! Apa yang harus Pelita lakukan agar Rio tidak marah lagi padanya? Pelita tahu dirinya hanya seorang wanita disabilitas yang tidak dapat melihat, tapi Pelita punya semangat yang kuat. Makanya saat ini ia sedang berjalan keluar kamar dengan tangan yang meraba-raba benda sekitarnya, tak jarang tubuhnya terbentur pada meja ataupun dinding.
"Pelita mau masakin buat Rio," gumamnya pada diri sendiri setelah ia berada di dapur.
***
Rio berjalan dengan tergesa-gesa. Pikirannya tengah kacau, yang ia inginkan sekarang adalah berjumpa dengan Pelita, memeluk Pelita, dan juga memiliki Pelita. Sungguh! Rio sangat menyesal telah melakukan itu pada Pelita, namun saat itu ia tak punya pilihan lain ketika Dewa datang kepadanya dan memaksa Rio untuk menyakiti Pelita. Ya ampun, betapapun Rio sangat mencintai gadis yang kini tengah menunggunya di rumah.
"Pelita," panggil Rio saat dirinya telah sampai di rumah. Ia melihatnya wanitanya kini tengah memegang pergelangan tangannya yang terluka juga dengan bercak darah yang menetes di permukaan lantai.
"Eh Rio sudah datang?" ucap gadis itu dengan riang meski ia tak dapat melihat wujud Rio.
Dengan suara yang parau, Rio bertanya "kamu ngapain?"
"Pelita lagi masak buat Rio, pasti Rio laperkan? Tapi maaf makanannya belum jadi-jadi, soalnya Pelita pusing harus ngambil apa kan enggak keliat---"
Sebelum wanita itu menyelesaikan ucapannya, Rio telah bersimpuh di hadapannya. "Maafin aku Pelita, maaf." ucapnya di sela-sela tangis yang semakin deras.
Pelita tersenyum lalu ia meraba bahu Rio dan menuntunnya untuk kembali tegak, "Pelita enggak apa-apa. Rio jangan sedih!"
"Aku salah Pelita, aku jahat."
Pelita menggeleng pelan, ia kembali menggerakan lengannya untuk menyentuh wajah Rio dan mengusap pelan butiran kristal yang terjatuh membasahi wajah lelaki itu. "Rio baik."
Rio menyentuh lengan Pelita yang terluka "Pelita ini kenapa?"
"Hehe, tadi Pelita mau potong bawang terus enggak sengaja pisaunya kena tangan Pelita."
Rio menoleh, melihat pisau yang tergeletak di atas meja. Dengan cepat ia meraih pisau itu lalu membuangnya ke sembarang arah, "jangan pernah lakuin itu lagi Pelita!"
"Tapi, Pelita pengen buat Rio seneng. Pengen buat Rio jadi cinta lagi sama Pelita,"
Rio mengecup punggung tangan Pelita dengan tangis yang kembali turun, "aku cinta Pelita. Sangat cinta Pelita,"
Pelita terkekeh, "walaupun Pelita buta?"
"Iya."
"Walau Pelita enggak bisa masak?"
"Iya, kamu tahu enggak apa yang tadi kamu potong?"
Pelita mengernyit, "bawang."
Mendengarnya, Rio tertawa dengan terbahak-bahak. "Itu tomat Pelita," ah sungguh wanita itu sangat menggemaskan membuat Rio tak sadar memeluknya dan mengecup puncak kepala wanita itu. "Ayo kita obatin lukanya!"
"Oke."
Pelita baru tahu, ternyata definisi bahagia yang sesungguhnya adalah ketika ada seseorang yang mencintaimu tanpa peduli apa kekuranganmu. Karena cinta sempurna tak membutuhkan fisik yang sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar